Badan Pusat Statistik melansir Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan Maret 2009 sebesar 323,17 ribu orang (3,62 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2008 sebesar 379.6 ribu orang (4,29 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 57,45 ribu (0,67 persen). Dari data tersebut dapat diketahui bahwa laju penurunan jumlah penduduk miskin begitu cepat di pedesaan dibanding di perkotaan disebabkan oleh adanya arus urbanisasi dari desa ke kota. Kendatipun harus diakui bahwa penurunan jumlah penduduk miskin tersebut sebagai dampak langsung maupun tidak langsung dari berbagai kebijaksanaan pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini.
Beberapa dasawarsa terakhir ini orang juga senang memperbincangkan budaya kemiskinan (Lewis, 1959, 1966a, 1966b). Istilah tersebut mengandung pengertian bahwa orang-orang miskin hidup dalam suatu subkultur; dan sebagai akibat dari adanya kesamaan pengalaman, mereka memiliki sikap dan pola-pola perilaku tertentu yang diwariskan para orangtua kepada anak-anak mereka. Budaya semacam itu meliputi keluarga matrifokal, tindakan yang sesekali mengarah ke agresivitas fisik, ketidaksanggupan merencanakan masa depan, upaya mencari kepuasan seketika, dan pandangan masa depan yang fatalistis. Konsep budaya kemiskinan ini didukung oleh banyak ilmuwan sosial (Kerbo, 1981) yang menilai hal tersebut sebagai gambaran realistis tentang betapa sulitnya orang miskin melepaskan diri dari lingkaran kemiskinan yang diwariskan dari generasi yang satu ke generasi lainnya (Galbraith, 1978: Segalman dan Basu, 1979).
Menilik pengertiannya, kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Menurut sejarah keadaan kaya dan miskin secara berdampingan tidak merupakan masalah sosial sampai saatnya perdagangan berkembang dengan pesat dan timbulnya nilai-nilai sosial yang baru. Dengan berkembangnya perdagangan ke seluruh dunia, dan ditetapkannya taraf kehidupan tertentu sebagai suatu kebiasaan masyarakat, kemiskinan muncul sebagai masalah sosial. Pada waktu itu individu sadar akan kedudukan ekonominya sehingga mereka mampu untuk mengatakan apakah dirinya kaya atau miskin. Kemiskinan dianggap sebagai masalah sosial, apabila perbedaan kedudukan ekonomis para warga masyarakat ditentukan secara tegas.
Pada masyarakat yang bersahaja susunan dan organisasinya, mungkin kemiskinan bukan merupakan masalah sosial, karena mereka menganggap bahwa semuanya telah ditakdirkan, sehingga tidak ada usaha-usaha untuk mengatasinya. Mereka tidak akan terlalu memperhatikan keadaan tersebut, kecuali apabila mereka betul-betul menderita karenanya. Faktor-faktor yang menyebabkan mereka membenci kemiskinan adalah kesadaran bahwa mereka telah gagal untuk memperoleh lebih daripada apa yang telah dimilikinya dan perasaan akan adanya ketidakadilan.
Pada masyarakat modern yang rumit, kemiskinan menjadi suatu problem sosial karena sikap yang membenci kemiskinan tadi. Seseorang bukan merasa miskin karena kurang makan, pakaian atau perumahan. Tetapi karena harta iliknya dianggap tidak cukup untuk memenuhi taraf kehidupan yang ada. Hal ini terlihat di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta; seseorang dianggap miskin kalau tidak memiliki radio, televise atau sepeda motor. Sehingga lama kelamaan benda-benda sekunder tersebut dijadikan ukuran bagi keadaan sosial-ekonomi seseorang, yaitu apakah dia miskin atau kaya. Dengan demikian persoalannya mungkin menjadi lain yaitu tidak adanya pembagian kekayaan yang merata.
Persoalan menjadi lain bagi mereka yang turut urbanisasi tetapi gagal mencari pekerjaan. Bagi mereka pokok persoalan kemiskinan disebabkan tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer sehingga timbul tunakarya, tunasusila, dan lain sebagainya. Secara sosiologis, sebab-sebab timbulnya problema tersebut adalah karena salah satu lembaga kemasyarakatan tidak berfungsi dengan baik, yaitu lembaga kemasyarakatan di bidang ekonomi. Kepincangan tersebut akan menjalar ke bidang-bidang lainnya misalnya pada kehidupan keluarga yang tertimpa kemiskinan tersebut.
Kemiskinan memang merupakan materi yang sangat luas untuk dijadikan bahan pembahasan. Topiknya akan selalu ada dan aktual karena seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat dan selalu terkait dengan berbagai aspek kehidupan. Berbagai fenomena yang baru seputar kemiskinan terus bermunculan baik sebagai sesuatu yang baru maupun pengembangan dari model kemiskinan yang sudah ada sebelumnya. Dahulu mungkin kemiskinan hanya identik dengan peminta-minta, pemulung, pengamen cilik dan sebagainya. Sekarang sudah berkembang seperti fenomena manusia gerobak, pencari kerja di bus kota, bahkan ada paket wisata yang khusus melihat kondisi kemiskinan di tengah ibukota. Sejumlah fenomena dari kemiskinan sengaja diangkat dalam makalah ini untuk menyajikan gambaran nyata fenomena tersebut.
sumber : Horton, Paul B dkk, 1992, Sosiologi (Edisi Keenam), Jakarta, Erlangga.
Beberapa dasawarsa terakhir ini orang juga senang memperbincangkan budaya kemiskinan (Lewis, 1959, 1966a, 1966b). Istilah tersebut mengandung pengertian bahwa orang-orang miskin hidup dalam suatu subkultur; dan sebagai akibat dari adanya kesamaan pengalaman, mereka memiliki sikap dan pola-pola perilaku tertentu yang diwariskan para orangtua kepada anak-anak mereka. Budaya semacam itu meliputi keluarga matrifokal, tindakan yang sesekali mengarah ke agresivitas fisik, ketidaksanggupan merencanakan masa depan, upaya mencari kepuasan seketika, dan pandangan masa depan yang fatalistis. Konsep budaya kemiskinan ini didukung oleh banyak ilmuwan sosial (Kerbo, 1981) yang menilai hal tersebut sebagai gambaran realistis tentang betapa sulitnya orang miskin melepaskan diri dari lingkaran kemiskinan yang diwariskan dari generasi yang satu ke generasi lainnya (Galbraith, 1978: Segalman dan Basu, 1979).
Menilik pengertiannya, kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Menurut sejarah keadaan kaya dan miskin secara berdampingan tidak merupakan masalah sosial sampai saatnya perdagangan berkembang dengan pesat dan timbulnya nilai-nilai sosial yang baru. Dengan berkembangnya perdagangan ke seluruh dunia, dan ditetapkannya taraf kehidupan tertentu sebagai suatu kebiasaan masyarakat, kemiskinan muncul sebagai masalah sosial. Pada waktu itu individu sadar akan kedudukan ekonominya sehingga mereka mampu untuk mengatakan apakah dirinya kaya atau miskin. Kemiskinan dianggap sebagai masalah sosial, apabila perbedaan kedudukan ekonomis para warga masyarakat ditentukan secara tegas.
Pada masyarakat yang bersahaja susunan dan organisasinya, mungkin kemiskinan bukan merupakan masalah sosial, karena mereka menganggap bahwa semuanya telah ditakdirkan, sehingga tidak ada usaha-usaha untuk mengatasinya. Mereka tidak akan terlalu memperhatikan keadaan tersebut, kecuali apabila mereka betul-betul menderita karenanya. Faktor-faktor yang menyebabkan mereka membenci kemiskinan adalah kesadaran bahwa mereka telah gagal untuk memperoleh lebih daripada apa yang telah dimilikinya dan perasaan akan adanya ketidakadilan.
Pada masyarakat modern yang rumit, kemiskinan menjadi suatu problem sosial karena sikap yang membenci kemiskinan tadi. Seseorang bukan merasa miskin karena kurang makan, pakaian atau perumahan. Tetapi karena harta iliknya dianggap tidak cukup untuk memenuhi taraf kehidupan yang ada. Hal ini terlihat di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta; seseorang dianggap miskin kalau tidak memiliki radio, televise atau sepeda motor. Sehingga lama kelamaan benda-benda sekunder tersebut dijadikan ukuran bagi keadaan sosial-ekonomi seseorang, yaitu apakah dia miskin atau kaya. Dengan demikian persoalannya mungkin menjadi lain yaitu tidak adanya pembagian kekayaan yang merata.
Persoalan menjadi lain bagi mereka yang turut urbanisasi tetapi gagal mencari pekerjaan. Bagi mereka pokok persoalan kemiskinan disebabkan tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer sehingga timbul tunakarya, tunasusila, dan lain sebagainya. Secara sosiologis, sebab-sebab timbulnya problema tersebut adalah karena salah satu lembaga kemasyarakatan tidak berfungsi dengan baik, yaitu lembaga kemasyarakatan di bidang ekonomi. Kepincangan tersebut akan menjalar ke bidang-bidang lainnya misalnya pada kehidupan keluarga yang tertimpa kemiskinan tersebut.
Kemiskinan memang merupakan materi yang sangat luas untuk dijadikan bahan pembahasan. Topiknya akan selalu ada dan aktual karena seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat dan selalu terkait dengan berbagai aspek kehidupan. Berbagai fenomena yang baru seputar kemiskinan terus bermunculan baik sebagai sesuatu yang baru maupun pengembangan dari model kemiskinan yang sudah ada sebelumnya. Dahulu mungkin kemiskinan hanya identik dengan peminta-minta, pemulung, pengamen cilik dan sebagainya. Sekarang sudah berkembang seperti fenomena manusia gerobak, pencari kerja di bus kota, bahkan ada paket wisata yang khusus melihat kondisi kemiskinan di tengah ibukota. Sejumlah fenomena dari kemiskinan sengaja diangkat dalam makalah ini untuk menyajikan gambaran nyata fenomena tersebut.
sumber : Horton, Paul B dkk, 1992, Sosiologi (Edisi Keenam), Jakarta, Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar