Penulis : Adi Sulaiman
Sullivan memang tidak banyak berpendapat mengenai tahap dewasa matang di luar lingkup psikiatri interpersonal; namun ia meyakini bahwa walaupun gambaran akan orang dewasa tidak ditemukan dalam pengalaman klinis, tapi merupakan hasil perkiraan dari tahapan-tahapan sebelumnya. Melihat berbagai keberhasilan dan kegemilangan Bapak Habibie yang begitu runtut dan jelas alurnya, tentu saja hal ini bukan sesuatu yang datang tiba-tiba sebagai keajaiban. Beliau pada hakikatnya manusia biasa juga yang sama dengan manusia Indonesia lainnya. Beliau dilahirkan bukan di kota besar yang lengkap dengan berbagai fasilitas, beliau lahir di daerah Pare-Pare dari keluarga yang pure Indonesia. Prestasi demi prestasi yang beliau miliki dan torehkan menjadi kebanggaan bukan hanya pribadi tapi juga kebanggaan Indonesia bahkan kebanggaan dunia. Keberhasilan dan prestasi ini merupakan hasil tempaan dan pengalaman-pengalaman yang diperoleh pada masa tahapan-tahapan sebelum berkembang menjadi dewasa. Profil singkat diatas juga menunjukkan betapa seorang habibie mengembangkan needs dalam arti beliau sangat memfasilitasi perkembangan interpersonal, dimana Transformasi Energi yang beliau lakukan secara teratur menjadi dynamism dengan tipikal intimacy yaitu hubungan interpersonal erat dengan kelompok teman atau orang lain dengan status setara.
Pada masa kanak-kanaknya, Habibie sebagai anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan RA. Tuti Marini Puspowardojo, sejatinya mendapatkan periode akulturasi sebagaimana diungkapkan Sullivan (1953b) bahwa pada masa kanak-kanak sebagai periode akulturasi yang pesat yaitu periode memperoleh bahasa, anak-anak belajar pola budaya kebersihan, kebiasaan dan harapan peran gender. Hidup sebagai anak laki-laki yang memiliki urutan menengah yaitu memiliki tiga orang kakak dan empat orang adik, Habibie mendapatkan banyak pelajaran kehidupan dari orangtua dan kakak-kakaknya, terlebih lagi ia harus memberi bimbingan dan menjadi contoh bagi adik-adiknya. Apalagi dalam usia 14 tahun, beliau harus kehilangan ayah karena terkena serangan jantung.
Begitu pula pada masa Juvenil, dimana pada masa tersebut mulai timbul kebutuhan akan kelompok teman atau teman bermain dengan status setara, dan diakhiri saat seseorang menemukan satu teman untuk memuaskan kebutuhan akan keintiman. Selama tahapan ini, Sullivan percaya bahwa anak seharusnya belajar untuk bersaing, berkompromi dan bekerja sama. Habibie kecil melalui masa ini bersama saudara-saudaranya secara harmonis dan rukun di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Sifat tegas berpegang pada prinsip telah ditunjukkan Habibie sejak kanak-kanak.
Tak lama setelah ayahnya meninggal, Habibie pindah ke Bandung untuk menuntut ilmu di Gouvernments Middlebare School. Di SMA, beliau mulai tampak menonjol prestasinya, terutama dalam pelajaran-pelajaran eksakta. Habibie menjadi sosok favorit di sekolahnya. Masa ini memang dikenal sebagai masa remaja akhir dimana pada masa ini, bagi remaja akhir yang sukses mencakup tumbuhnya gaya sintaksis. Remaja akhir mulai senang bertukar pikiran dengan orang lain dan mendapatkan gagasan atau keyakinan mereka divalidasi atau disangkal. Mereka belajar dari orang lain bagaimana hidup dalam dewasa, namun perjalanan yang sukses di tahapan-tahapan sebelumnya memfasilitasi penyesuaian ini. Sosok Habibie pun dikenal sebagai pribadi yang sangat menikmati diskusi panjang dengan orang lain hingga berjam-jam lamanya. Seluruh kemampuan yang dimilikinya seakan didedikasikan untuk menghasilkan dan mempertahankan gagasan atau ide yang dimilikinya.
Disamping sisi pribadinya, perjalanan cinta seorang Habibie juga patut diteladani dan member kesan tersendiri di hati masyarakat Indonesia. Apa yang diungkapkan Sullivan (1953b) mengenai hubungan cinta bahwa “keintiman yang berkembang pesat dengan orang lain ini bukan urusan utama dalam hidup, namun mungkin merupakan sumber pemuasan utama dalam hidup”(hal. 34), nampaknya memang dapat menjadi gambaran atau ungkapan kata yang bisa mewakili begitu besarnya cinta seorang Habibie kepada istrinya. Bagi beliau, sang istri merupakan satu-satunya pendamping setia dalam keadaan suka maupun duka sekaligus tempat diletakkannya cinta yang kokoh seorang Habibie. Sampai saat ini beliau tetap mencintai istrinya dan menganggap istrinya masih terus berada di dalam hatinya kendati sang istri telah berpulang ke haribaan sang pencipta.
Kesimpulan
Harry Stack Sullivan berpendapat bahwa kepribadian adalah pola yang relatif menetap dari situasi-situasi antar pribadi yang berulang, yang menjadi ciri kehidupan manusia. Sullivan tidak menyangkal pentingnya hereditas dan pematangan dalam membentuk dan membangun kepribadian, namun ia berpendapat bahwa apa yang khas manusiawi adalah hubungan interpersonal. Pengalaman hubungan antar pribadi telah mengubah fungsi fisiologis organisme menjadi organisme sosial.
Sullivan sangat yakin bahwa kepribadian dibangun semata-mata pada hubungan interpersonal, sehingga dapat dikatakan teorinya sangat tinggi pada pengaruh sosial. Hubungan interpersonal bertanggung jawab atas karakteristik positif maupun negatif pada manusia. Satu pengaruh yang memisahkan manusia dengan semua makhluk lain adalah hubungan interpersonal. Manusia terlahir sebagai organism biologis-hewan tanpa kualitas manusia kecuali potensinya untuk ambil bagian dalam hubungan interpersonal. Segera setelah kelahirannya, manusia mulai menyadari potensi mereka ketika pengalaman interpersonal menjadikan mereka manusia. Sullivan percaya bahwa pikiran tidak memiliki isi apapun kecuali apa yang diberikan melalui pengalaman interpersonal. Manusia tidak tergerak oleh insting, namun oleh pengaruh lingkungan yang datang melalui hubungan interpersonal.
Dalam case study, terungkap bahwa keberhasilan seorang Habibie bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Masa demi masa dalam tahapan perkembangannya dilalui dengan hubungan interpersonal yang baik dan bahkan beliau mendapatkan istri sebagai pasangan yang memenuhi kepuasan keintimannya dan mendampinginya selama puluhan tahun sampai akhirnya meninggal dunia. Istrinya meninggalkan beliau dengan membawa cinta sejatinya.
Sullivan memang tidak banyak berpendapat mengenai tahap dewasa matang di luar lingkup psikiatri interpersonal; namun ia meyakini bahwa walaupun gambaran akan orang dewasa tidak ditemukan dalam pengalaman klinis, tapi merupakan hasil perkiraan dari tahapan-tahapan sebelumnya. Melihat berbagai keberhasilan dan kegemilangan Bapak Habibie yang begitu runtut dan jelas alurnya, tentu saja hal ini bukan sesuatu yang datang tiba-tiba sebagai keajaiban. Beliau pada hakikatnya manusia biasa juga yang sama dengan manusia Indonesia lainnya. Beliau dilahirkan bukan di kota besar yang lengkap dengan berbagai fasilitas, beliau lahir di daerah Pare-Pare dari keluarga yang pure Indonesia. Prestasi demi prestasi yang beliau miliki dan torehkan menjadi kebanggaan bukan hanya pribadi tapi juga kebanggaan Indonesia bahkan kebanggaan dunia. Keberhasilan dan prestasi ini merupakan hasil tempaan dan pengalaman-pengalaman yang diperoleh pada masa tahapan-tahapan sebelum berkembang menjadi dewasa. Profil singkat diatas juga menunjukkan betapa seorang habibie mengembangkan needs dalam arti beliau sangat memfasilitasi perkembangan interpersonal, dimana Transformasi Energi yang beliau lakukan secara teratur menjadi dynamism dengan tipikal intimacy yaitu hubungan interpersonal erat dengan kelompok teman atau orang lain dengan status setara.
Pada masa kanak-kanaknya, Habibie sebagai anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan RA. Tuti Marini Puspowardojo, sejatinya mendapatkan periode akulturasi sebagaimana diungkapkan Sullivan (1953b) bahwa pada masa kanak-kanak sebagai periode akulturasi yang pesat yaitu periode memperoleh bahasa, anak-anak belajar pola budaya kebersihan, kebiasaan dan harapan peran gender. Hidup sebagai anak laki-laki yang memiliki urutan menengah yaitu memiliki tiga orang kakak dan empat orang adik, Habibie mendapatkan banyak pelajaran kehidupan dari orangtua dan kakak-kakaknya, terlebih lagi ia harus memberi bimbingan dan menjadi contoh bagi adik-adiknya. Apalagi dalam usia 14 tahun, beliau harus kehilangan ayah karena terkena serangan jantung.
Begitu pula pada masa Juvenil, dimana pada masa tersebut mulai timbul kebutuhan akan kelompok teman atau teman bermain dengan status setara, dan diakhiri saat seseorang menemukan satu teman untuk memuaskan kebutuhan akan keintiman. Selama tahapan ini, Sullivan percaya bahwa anak seharusnya belajar untuk bersaing, berkompromi dan bekerja sama. Habibie kecil melalui masa ini bersama saudara-saudaranya secara harmonis dan rukun di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Sifat tegas berpegang pada prinsip telah ditunjukkan Habibie sejak kanak-kanak.
Tak lama setelah ayahnya meninggal, Habibie pindah ke Bandung untuk menuntut ilmu di Gouvernments Middlebare School. Di SMA, beliau mulai tampak menonjol prestasinya, terutama dalam pelajaran-pelajaran eksakta. Habibie menjadi sosok favorit di sekolahnya. Masa ini memang dikenal sebagai masa remaja akhir dimana pada masa ini, bagi remaja akhir yang sukses mencakup tumbuhnya gaya sintaksis. Remaja akhir mulai senang bertukar pikiran dengan orang lain dan mendapatkan gagasan atau keyakinan mereka divalidasi atau disangkal. Mereka belajar dari orang lain bagaimana hidup dalam dewasa, namun perjalanan yang sukses di tahapan-tahapan sebelumnya memfasilitasi penyesuaian ini. Sosok Habibie pun dikenal sebagai pribadi yang sangat menikmati diskusi panjang dengan orang lain hingga berjam-jam lamanya. Seluruh kemampuan yang dimilikinya seakan didedikasikan untuk menghasilkan dan mempertahankan gagasan atau ide yang dimilikinya.
Disamping sisi pribadinya, perjalanan cinta seorang Habibie juga patut diteladani dan member kesan tersendiri di hati masyarakat Indonesia. Apa yang diungkapkan Sullivan (1953b) mengenai hubungan cinta bahwa “keintiman yang berkembang pesat dengan orang lain ini bukan urusan utama dalam hidup, namun mungkin merupakan sumber pemuasan utama dalam hidup”(hal. 34), nampaknya memang dapat menjadi gambaran atau ungkapan kata yang bisa mewakili begitu besarnya cinta seorang Habibie kepada istrinya. Bagi beliau, sang istri merupakan satu-satunya pendamping setia dalam keadaan suka maupun duka sekaligus tempat diletakkannya cinta yang kokoh seorang Habibie. Sampai saat ini beliau tetap mencintai istrinya dan menganggap istrinya masih terus berada di dalam hatinya kendati sang istri telah berpulang ke haribaan sang pencipta.
Kesimpulan
Harry Stack Sullivan berpendapat bahwa kepribadian adalah pola yang relatif menetap dari situasi-situasi antar pribadi yang berulang, yang menjadi ciri kehidupan manusia. Sullivan tidak menyangkal pentingnya hereditas dan pematangan dalam membentuk dan membangun kepribadian, namun ia berpendapat bahwa apa yang khas manusiawi adalah hubungan interpersonal. Pengalaman hubungan antar pribadi telah mengubah fungsi fisiologis organisme menjadi organisme sosial.
Sullivan sangat yakin bahwa kepribadian dibangun semata-mata pada hubungan interpersonal, sehingga dapat dikatakan teorinya sangat tinggi pada pengaruh sosial. Hubungan interpersonal bertanggung jawab atas karakteristik positif maupun negatif pada manusia. Satu pengaruh yang memisahkan manusia dengan semua makhluk lain adalah hubungan interpersonal. Manusia terlahir sebagai organism biologis-hewan tanpa kualitas manusia kecuali potensinya untuk ambil bagian dalam hubungan interpersonal. Segera setelah kelahirannya, manusia mulai menyadari potensi mereka ketika pengalaman interpersonal menjadikan mereka manusia. Sullivan percaya bahwa pikiran tidak memiliki isi apapun kecuali apa yang diberikan melalui pengalaman interpersonal. Manusia tidak tergerak oleh insting, namun oleh pengaruh lingkungan yang datang melalui hubungan interpersonal.
Dalam case study, terungkap bahwa keberhasilan seorang Habibie bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Masa demi masa dalam tahapan perkembangannya dilalui dengan hubungan interpersonal yang baik dan bahkan beliau mendapatkan istri sebagai pasangan yang memenuhi kepuasan keintimannya dan mendampinginya selama puluhan tahun sampai akhirnya meninggal dunia. Istrinya meninggalkan beliau dengan membawa cinta sejatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar