Penulis : Adi Sulaiman
Hari Raya Idul Fitri merupakan hari besar yang dirayakan oleh seluruh kaum muslimin di berbagai penjuru dunia, terlebih lagi kaum muslimin di Indonesia. Seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang usia dan status sosial larut dalam kebahagiaan hari besar tersebut. Pengalaman membuktikan bahwa dalam kondisi apapun, kondisi normal atau kondisi tertentu seperti pascabencana dan sulitnya perekonomian nasional, tetap saja perayaan idul fitri tidak akan dilewatkan begitu saja. Terasa ada ikatan emosional yang sangat kuat antara umat Islam dengan hari raya idul fitri. Semua orang bergembira dan bersuka cita atas datangnya hari idul fitri. Tak terkecuali mereka yang enggan melaksanakan kewajiban berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan. Memang demikian, idul fitri dalam konteks sosial adalah milik siapa saja dan siapapun berhak merasakan kegembiraan yang sama.
Banyak sekali kegembiraan orang yang merayakan idul fitri diwujudkan dalam berbagai bentuk. Orang Indonesia memang bisa dikatakan paling kreatif dan inovatif dalam hal merayakan kegembiraan. Bentuknya pun beragam mulai dari pakaian, makanan, acara perayaan, sampai akhirnya menjadi tradisi yang mengakar kuat di tengah masyarakat. Perayaan idul fitri juga membuat arus perputaran uang sangat deras dan cepat. Pemerintah pun menaruh perhatian besar terhadap jaminan kelancaran perayaan idul fitri setiap tahunnya.
Dalam perayaan idul fitri, ada suatu fenomena yang terus terjadi setiap tahunnya yaitu meroketnya harga daging menjelang hari raya. Kata "meroket" memang terpaksa digunakan karena harga daging yang semula berada pada kisaran normal tiba-tiba melonjak sangat tajam seakan pada saat perayaan tersebut daging menjadi kewajiban setiap rumah tangga. Lonjakan harga tersebut bukan hanya terjadi di Jakarta tetapi juga di berbagai daerah di Indonesia terutama daerah yang masih kuat tradisi perayaan lebarannya. Apalagi fenomena tersebut selalu berulang pada setiap tahunnya dan trend-nya adalah setiap tahun pun ada kenaikan harga dari tahun sebelumnya.
Di Jakarta sendiri, pada hari-hari biasa, daging dijual pada kisaran harga Rp 45.000 perkilogram. Namun berbeda pada dua hari menjelang idul fitri, harga daging bisa berada pada kisaran Rp 75.000 perkilogram. Bahkan sehari menjelang idul fitri, harga itu pun masih bisa berganti menjadi Rp 85.000 sampai Rp 90.000 perkilogram. Namun demikian, masyarakat tetap antusias membeli daging tersebut apalagi bagi masyarakat Jakarta asli yang dikenal dengan masyarakat Betawi. Masyarakat Betawi terutama bagi yang sudah menikah, menganggap bahwa membeli daging menjelang perayaan idul fitri adalah suatu kewajiban yang harus ditunaikan untuk diberikan kepada keluarga dalam hal ini kepada istri dan anak, orangtua dan mertua apabila masih ada keduanya atau salah satu saja. Merupakan suatu penilaian yang kurang baik terhadap seorang pria betawi yang sudah menikah apabila tidak menunaikan kewajiban tersebut. Oleh karenanya sesulit apapun kondisinya, momentum membeli daging menjelang hari raya tidak akan dilewatkan karena merupakan salah satu simbol membahagiakan keluarga pada saat hari raya. Disamping masyarakat betawi tersebut, masyarakat yang umumnya tinggal di Jakarta juga ramai-ramai ikut membeli daging sebagai pelengkap hidangan di hari raya. Akibatnya permintaan yang meningkat menyebabkan pedagang berlomba-lomba ikut menaikan harga padahal persediaan kebutuhan daging menjelang hari raya cukup berlimpah. Hal ini ditandai dengan maraknya pedagang daging dadakan di pasar-pasar tradisional dengan persediaan dagangan yang banyak dan tidak adanya antrian serta kemudahan masyarakat dalam membeli daging. Ditambah lagi pemberitaan di media yang menyebutkan bahwa satu pedagang berhasil menjual daging hingga berton-ton banyaknya menjelang idul fitri.
Suatu perayaan memang identik dengan makanan lezat terutama makanan berbahan dasar daging. Namun fenomena meroketnya harga daging apalagi terjadi tiap tahun dan selalu naik dari tahun ke tahun merupakan fenomena yang cukup menyulitkan kehidupan masyarakat. Kenaikan itu pun tidak serta merta diikuti menurunnya harga daging secara tajam pasca hari raya. Sehingga fenomena tersebut telah memunculkan harga baru yang lebih tinggi dari hari-hari biasa sebelum idul fitri. Pemerintah juga terlihat kurang belajar dari fenomena tersebut, karena hanya bisa menyatakan bahwa kenaikan harga daging merupakan kenaikan harga musiman yang hanya berlaku pada saat tertentu saja. Bukan itu saja, Pemerintah juga hanya melakukan kebijakan yang kurang menyentuh persoalan dan hanya bersifat sesaat seperti kebijakan impor daging sapi yang menurut pedagang daging tradisional hanya menguntungkan pengusaha besar saja dan kebijakan mengeluarkan imbauan kepada para pedagang agar mengendalikan harga. Selebihnya Pemerintah hanya memantau saja perkembangan yang terjadi tanpa ada upaya pencegahan yang berarti terhadap kenaikan harga yang terus menerus.
Pemerintahan boleh berganti, namun dalam penanganan masalah lonjakan harga daging ini seharusnya ada solusi yang sistemik, terencana dan berlaku untu jangka panjang. Bumi Indonesia yang begitu luas lengkap dengan sumber daya yang kaya sejatinya dapat dijadikan solusi atas permasalahan seperti kenaikan harga daging ini. Pemerintah adalah pembuat dan pelaksana regulasi yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengarahkan masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik. Pemerintah harus membuat suatu sistem yang menguntungkan rakyat minimal membantu kesulitan rakyat membeli daging dengan harga wajar pada saat perayaan idul fitri. Pemerintah sudah harus memikirkan bagaimana mengembangkan peternakan sapi lokal sehingga tidak perlu memasok atau mengimpor dari luar. Konsumsi daging sapi umumnya dipasok sapi rakyat yang sudah berlangsung lama. Maka jika pemerintah ingin meningkatkan jumlah sapi potong maka peternakan rakyat patut menjadi perhatian. Semoga dengan pasokan sapi lokal yang cukup harga daging bisa dikendalikan.